Papua – Perdebatan publik muncul setelah video pemusnahan mahkota burung Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua viral di media sosial. Banyak yang menilai tindakan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap budaya Papua. Namun bagi Koordinator Perkumpulan Dewan Adat Suku Wilayah Tabi, Daniel Toto, peristiwa tersebut justru mencerminkan upaya melindungi warisan alam yang menjadi kebanggaan masyarakat Papua.
“Pemusnahan itu bukan pelecehan adat. Justru langkah tepat untuk mencegah penyalahgunaan dan perdagangan ilegal satwa dilindungi,” ujar Daniel.
Menurutnya, pemilik barang bukti sendiri yang mengajukan agar mahkota tersebut dimusnahkan karena khawatir akan konsekuensi hukum bila disimpan. “Jadi, keputusan itu diambil demi keamanan dan ketaatan pada aturan hukum,” tambahnya.
Bagi Daniel, yang terpenting adalah memahami konteks tindakan tersebut. BBKSDA Papua, kata dia, hanya menjalankan mandat undang-undang untuk melindungi satwa liar dari ancaman kepunahan. “Kita jangan mudah salah paham. Pemusnahan itu bagian dari tanggung jawab melindungi Cenderawasih agar tetap hidup di alam, bukan penghinaan terhadap simbol adat,” tegasnya.
Daniel juga menyinggung kebijakan yang pernah dikeluarkan mendiang Gubernur Papua Lukas Enembe, yaitu Surat Edaran Nomor 660.1/6701/Z tentang perlindungan satwa liar. Namun, delapan tahun berlalu, aturan turunan berupa Perdasi atau Perdasus belum juga terbit. “Saya harap MRP dan DPR Papua segera merumuskan regulasi yang lebih kuat untuk menjaga Cenderawasih dan satwa endemik Papua lainnya,” katanya.
Ia pun menyampaikan permohonan maaf atas munculnya polemik di masyarakat dan mengajak seluruh pihak untuk tidak memperkeruh suasana.
“Mari kita rawat Cenderawasih bukan hanya sebagai lambang adat, tetapi sebagai bagian dari jati diri dan kehidupan orang Papua,” tutup Daniel Toto.(rd)
Tidak ada komentar